Jumat, 10 Desember 2010

Sabang (Weh Island) Aceh-Indonesia : Destination Competitiveness

Years back, Sabang (Weh Island) was a popular tourism destination. However, the 29-year conflict and the virtual inaccessibility to Aceh for tourists, especially foreigners, during much of that period, along with the 2004 tsunami, and other events led to the decline of tourism as a major part of the economy. Conditions have changed. Internally, Aceh is once again open for business and attempting to reconnect itself to Indonesia’s tourism industry and its international source markets, suppliers, and investors. Externally, tourism is booming around the world, especially in the Middle East and Asia, the two areas best situated to provide tourists to Sabang (Weh Island).

Sabang is rich of events, attraction and unique cultures that it will fascinate anyone. Sabang is also rich in natural beauty, waves and sea garden, which is suitable for diving. Some of most beautiful Sabang tourism and historical sites and beaches have been damaged by the massive earthquake and Dec 2004 Tsunami. After the tsunami, at least 1,200 local and international NGOs operated in Aceh, It has been considered as free promotion for Aceh.
The Multidonor Fund for Aceh and Nias (MDF), continues to provide assistance in promoting longer term economic and from 2005 through 2008, at least Rp 60 trillion ($6 billion) was allocated to Aceh.

I think, even though many NGOs consider to promote Sabang-Aceh, it is not easy to encourage tourists, but the “Destination (Stakeholder) must market and sell online with user friendly sites targeting their specific markets and fully integrated reservation system. A key element of a successful tourism industry is the ability to recognize and deal with change across a wide range of key factors and the way they interact”.

And the other side is “The attractiveness and competitiveness of tourist destinations”  more important as a scenario destination development.

I am sure, that tourist managers need to be more proactive in developing strategies to address global trends. “The importance of good management practice was recognized. Given the changes in the external environment, tourism enterprises must be managed strategically, that is manager must formulate, implement and evaluate cross functional decisions that enable an organization to achieve its objectives in the face of changes that confronts any private and public organization is how lay the foundations for tomorrow’s success while competing to win in today’s market place”.
“Sabang (Weh island) tourism philosophy is to develop a tourism industry that welcomes visitors from around the world to enjoy the island’s fascinating tourism attributes and the genuine hospitality of its people. The primary purpose for developing tourism on Sabang (Pulau Weh) is to provide economic and social benefits for the local people.
The tourism industry must aggressively protect Sabang (Weh island) natural resources, both on land and in the sea, and preserve its cultural resources and traditions. Tourism brings together people from many varied backgrounds, behaviors, and ways of life. Therefore, the tourism industry on Sabang (Weh island) must be planned, developed, promoted, managed, and operated in a manner that respects the religious, social, and cultural values of the local people”.
Sabang (Weh island) tourism products and services must be developed and offered in a way that provides visitors the opportunity to experience the island’s traditional lifestyle and its island’s unique sense of place.
Tourism will be an important part of an integrated economy on Sabang (Weh island), and it will promote, to the maximum extent possible, the utilization of local goods and services and the creation and success of small and family-owned businesses.
Although Pulau Weh may someday become a major international destination, it must grow at a pace that enables the local people to grow along with it and become the leaders, managers, and entrepreneurs who will guarantee the fate of the tourism industry will remain under local control. Close public-private sector cooperation, public awareness, industry training, and access to microfinancing will guide and coordinate this growth.


Study sambil Wisata Ramadhan di Negara Kincir Angin

The Netherland (Koninkrijk der Nederlanden) kalau diartikan bermakna daerah dibawah laut, orang-orang di eropa lebih sering menyebutnya Holland dan untuk orang belanda disebut Hollander/Dutch. Belanda juga terkenal dengan dijk (tanggul), kincir angin, terompa kayu, tulip dan sifat terbuka masyarakatnya. Sifat liberalnya menjadi sebutan masyarakat internasional. Belanda juga menjadi tempat kedudukan Mahkamah Internasional.

Belanda mempunyai permukaan tanahnya sangat rata. Hampir separuh daripada negara Belanda berada kurang 1 meter dpl. Walaupun demikian, provinsi Limburg, yang berada di bagian tenggara Belanda, sedikit berbukit.Permukaan tertinggi ialah Vaalserberg, yang berada di provinsi Limburg, mempunyai ketinggian 321 m. Permukaan yang terendah ialah Nieuwerkerk aan den IJssel, yang berada 6.76 dibawah permukaan laut.

Banyak tanah rendah dilindungi oleh dijk dan dinding laut. Sebagian kawasan di Belanda, misalnya daerah Flevoland, mesti direklamasi. Kawasan yang direklamasi itu disebut polder. Salah satu konstruksi yang terkenal ialah "Afsluitdijk" (Penutup Tanggul), yang memisahkan danau IJssel (IJsselmeer, dulunya disebut laut Zuider atau Zuiderzee) dengan laut Wadden (Waddenzee). Panjang dari tanggul ini 32 km dan lebarnya 90 m.

Luas permukaan tanahnya adalah: 13,104 sq mi (33,939 sq km); dan total area: 16,033 sq mi (41,526 sq km), dengan jumlah penduduk pada tahun 2009 adalah 16,715,999 jiwa, Amsterdam merupakan ibu kota Belanda dan Den Haag pusat administrasi dan kediaman Ratu Belanda.

Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) berada di Kota Den Haag, banyak pelajar Indonesia yang study di Denhaag dan ada beberapa berasal dari Aceh, saya studi di Kota Breda bagian selatan Belanda dan di Breda sangat jarang orang Indonesia apalagi Aceh, sehingga setiap akhir minggu saya menuju Den Haag untuk berkumpul bersama teman Aceh agar dapat mengurangi rasa homesick.

Sebagai student kami bergerilia untuk mencari tempat berbuka puasa yang menarik dan bila memungkinkan dapat gratis, biasanya sasaran kami adalah mesjid-mesjid, mesjid yang ada di Denhaag sangat terbatas namun umumnya perkampungan Turki mempunyai mesjid sendiri, dan itu adalah sasaran tempat kami berbuka puasa dilanjutkan dengan tarawih, umumnya disini tarawih 8 rakaat dan witir 3 rakaat, bacaan ayat sangat panjang jarang kami jumpai yang membacakan ayat-ayat pendek, soal makanan juga luar biasa sesuai porsi orang turki, pernah suatu ketika kami berbuka dimulai dengan kurma dan air selanjutnya sembahyang magrib selesai sembahyang kami dihidang makanan turki dan setiap jamaah mendapatkan separoh ayam (satu ayam dibelah dua), bayangkan kita di Aceh satu ekor ayam dipotong menjadi 20 potongan, makanan yang disajikan tentu saja tidak sanggup kami habisi sekali makan, subhanallah syafaat ramadhan.

KBRI Den Haag beralamat di Tobiaas Asserlaan 8, Kodepost 2517 Den Haag juga sering mengadakan buka puasa bersama, sebagai pasukan gerilia bukapuasa informasi-informasi buka puasa mudah kita dapat dari teman-teman Indonesia lainnya atau melalui website KBRI sendiri, KBRI rutin mengadakan buka puasa setiap hari jumat, ketika kami mengikuti buka puasa bersama di Kedutaan, terasa bahagia karena dapat berkumpul dengan kominitas Indonesia lagi, banyak orang membawa berbagai makanan untuk dicicipi padahal saat berbuka KBRI sudah menyediakan makanan, tidak kurang dari 100 orang student Indonesia hadir dalam kegiatan ini, system berbuka sama dengan kita berbuka di mesjid-mesjid di Aceh, karena didahului dengan makan kue, kurma dan air selanjutnya sembahyang magrib dan dilanjutkan dengan makan nasi, dan bagi saya yang kebiasaan berbuka langsung dengan nasi memang harus menyesuaikan dengan kondisi.

Mesjid Al-Hikmah milik Indonesia di Den Haag yang beralamat Koningskade 1, Kodepost 2596 AA City Den Haag juga mengadakan buka puasa bersama setiap hari sabtu dan minggu, suasananya hampir sama dengan berbuka di KBRI namun ada penambahan jamaah dari negara lain, seperti orang Belanda yang sudah beragama islam, India, China, Marokko, Sudan, dan arab lainnya.

Lumayan ramai juga orang Belanda yang beragama islam yang berbuka puasa bersama kami, kebetulan ketika selesai berbuka dan saat sembahyang isya dan tarawih serta witir posisi saya bersebelahan dengan orang berlanda yang tinggi besar berpakaian jas lengkap dasi dan beliau sangat khusyuk melaksanakan ibadah, ketika selesai shalat terawih 8 rakaat,saya coba tanyakan kepada Meneer ini, How many rakaah for witir dan dia menjawab two rakaah and one, wah rupanya dia memang paham tentang shalat-shalat sunah, Masyaallah tidak yang seperti saya alami sebelumnya ketika saya bersama teman-teman di kampus, mereka bertanya kenapa kamu harus puasa itukan menyiksa diri, kenapa harus sembahyang macam-macam pertanyaan tentang islam tapi setelah kita jelaskan mereka berujar wow interesting.

Ada sisi lain yang menarik juga, kebanyakan orang-orang Indonesia yang sudah bekerja di Eropa sangat banyak memberikan sedekah di bulan ramadhan, saya melihat satu orang tua berumur sekitar 60an tahun ketika berbuka di Kedutaan beliau membagi-bagikan kue sendiri kepada jamaah dan di Mesjid Al-Hikmah juga beliau melakukan hal yang sama, padahal kue yang beliau bagikan dipasar berharga sekitar 2 euro (1 euro= Rp. 14.500)/ potong dan beliau membagikan dalam jumlah yang besar, subhanallah….kadang saya berfikir kenapa kita di Aceh tidak melakukan hal yang sama di bulan Ramadhan, rasanya ingin pulang ke Aceh dan bersedekah ke pada jamaah yang berbuka di mesjid-mesjid.

Saat ini kami di Belanda masih termasuk musim panas, namun suhu sudah mulai dingin berkisar 10ÂșC, kami berpuasa sekitar 16 jam 30 menit setiap hari, kadang terpikir juga kenapa masih ada orang di Aceh yang tidak puasa padahal hanya 14 jam menahan lapar??

Muhammad Ali Taufik
Student Tourism Destination Management
NHTV Applied Science-University, Breda-Netherland

Saatnya Kembali Bersepeda

Pada saat rehab rekon sedang terjadi di Provinsi Aceh dan Banda Aceh sebagai pusat kegiatan rehap rekon, membuat kota provinsi ini berubah dari sepi menjadi ramai, jalan-jalan dalam Kota Banda Aceh penuh sesak, kenderaan baru bertambah secara signifikan, harga sewa rumah melambung, gaya hidup juga ikut berubah.

Fenomena ini juga masih berlangsung sampai sekarang, Banda Aceh di pagi, siang dan sore masih mengalami traffic jam seperti di persimpangan Jambo Tape, Simpang Lima, simpang Surabaya, atau seputar Taman Sari dan daerah-daerah lain seputar Banda Aceh. Ada beberapa factor penyebab masalah ini, misalnya pendatang yang mencari kerja berpusat di Banda Aceh, jalan yang tersedia masih sempit dan transportasi public yang tidak terjadwal, serta tingkat disiplin pengguna jalan rendah.
Selain penyebab diatas, ada satu penyebab utama dari semua ini adalah behavior of Acehnese yang lebih memilih “kemana-mana menggunakan bensin”, sebagai contoh, bila seorang pria ingin membeli rokok di simpang jalan berjarak sekitar 100 meter akan menggunakan kenderaan roda dua, dari pada berjalan kaki, padahal hanya 100 meter !.

Bila hal ini terus berlangsung seperti sekarang ini, dapat kita bayangkan bagaimana Banda Aceh lima atau sepuluh tahun mendatang, mungkin kota ini juga akan masuk category kota yang memproduksi polusi tinggi, crowded (akan seperti India) dan dipastikan kurang nyaman sebagai tempat hunianl generasi mendatang.

Maukah kita menghabiskan sebagian umur karena menunggu di lampu merah ? Apa yang harus dilakukan untuk menyelamat kita dari petaka traffic jam di Banda Aceh?, pertama dari sisi pemerintah, saatnya berfikir dan mendisign ulang ibukota propinsi Aceh, karena ketersediaan lahan yang semakin sempit, juga Banda Aceh telah survive dengan aktifitas perekonomiannya, ada baiknya ibu kota provinsi di geser ke Aceh Besar dengan memilih posisi strategis yang dapat menghubungkan Aceh Jaya, Aceh Tengah dan Pidie (program jangka panjang) tentu memerlukan biaya yang besar, hal ini dapat kita tiru kebijakan yang dilaksanakan Mahathir ketika memindahkan pusat pemerintahan ke Putrajaya.
Kewajiban pemerintah juga untuk menatakan kembali transportasi public dalam kota Banda Aceh dan Aceh Besar, sangat sulit mengontrol jadwal transportasi bila sector ini masih dikuasai oleh private sector. Ada baiknya private sector dilibatkan dalam menyediakan pelayanan transportasi public seperti trans-jogja (kerja sama pemerintah-swasta), karena ciri-ciri kota maju adalah kota yang dapat menyediakan transportasi public murah dan terjadwal.

Apa yang dapat kita lakukan?
Mungkin dapat kita contoh negera-negara eropa khususnya Belanda, jalan-jalan di Belanda tidak tergolong besar hampir mirip dengan di Banda Aceh, tapi di Belanda sebagian kecil yang menggunakan kenderaan roda empat sedangkan kenderaan roda dua sangat langka kita jumpai di jalan-jalan, masyarakat Belanda sebagian besar mempunyai sepeda, kemana-mana bersepeda, bila hendak berpergian jauh dapat menggunakan train dan untuk menuju ke train station juga menggunakan sepeda, sepeda selanjutkan dititipkan diparkiran dengan memasang kunci pengaman. Memang hampir tidak dapat dipercaya berdasarkan data statistic di Belanda, tingkat kriminalitas yang paling tinggi di Belanda adalah pencurian sepeda, tidak jarang di train station kita jumpai sepeda tanpa tempat duduk (sila = Bahasa Aceh) karena telah dicuri, sedangkan roda depan dan belakang masih terkunci dengan bagus.

Pernah suatu hari saya bersepeda menuju kampus cuaca sudah mulai dingin ketika sedang mengunci sepeda, saya melihat Bapak Rector orang sangat terhormat di universitas kami juga mengunci sepeda disamping sepeda saya. Aneh (menurut saya orang Aceh) seorang Rektor yang berpenghasilan lumayan masih menggunakan sepeda ke kampus, tidak kah dia merasa disepelekan oleh stafnya, saya temukan jawaban ketika berdiskusi dengan classmate orang eropa juga, disini (Belanda maksudnya) lebih melihat manfaat dari pada performance,( kebalikan dari kebiasaan kita di Aceh).

Terpikir, bila slogan “mari kembali bersepeda” kita galakkan di Banda Aceh, mungkin dapat dijadikan salah satu alternative mengatasi kemacetan yang sedang kita alami selama ini, masyarakat dapat berhemat dari manggunakan bensin dan yang lebih penting adalah kesehatan fisik lebih meninggkat.
Bila ada sensus di Aceh tentang pengeluaran tiap bulan per keluarga, saya berkeyakinan bahwa pengeluaran untuk pembelian bensin/transportasi setiap bulan adalah termasuk pengeluaran yang besar, padahal pengeluaran ini dapat ditekan dengan kembali bersepeda.

Program bersepeda ke kantor sangat mendukung dilaksanakan di Banda Aceh, karena jadwal masuk kantor pada pukul 08.00 pagi dan pulang pukul 17.00 wib, namun additional cost pasti akan bertambah setiap bulan karena penambahan pembelian parfum.



Den Haag, 25 Oktober 2009

Jalan Diponegoro

Membandingkan Banda Aceh dengan Sabang ibarat membandingkan siang dengan malam, Banda Aceh penuh dengan kilauan cahaya, panas, debu berterbangan dan aktifitas masyarakat yang sangat padat terjadi kemacetan dimana-mana dan volume asap kenderaan yang besar menghasilkan  polusi yang tinggi, namun beda-halnya dengan  Sabang, topografi berbukit, dikelilingi pergunungan yang hijau, masyarakat yang  welcome terhadap pendatang, aktifitaspun berjalan seadanya, jarang macet dan bila berkendaraan di Sabang yang amat menyenangkan dan perlu diwaspadai adalah hawa sejuk rimbunan pohon yang dapat me-ninabobo-kan pengendara.
Pengalaman saya yang berkunjung ke beberapa kota di Indonesia, sangat jarang kita jumpai kota-kota yang masih memiliki pohon besar di pinggir jalan raya, biasanya pohon besar telah ditebang untuk pelebaran jalan atau pembangunan infrastruktur lainnya, mungkin hanya Bogor yang masih memiliki pohon besar seperti Sabang saat ini.
Sabang, kota pertama dimulainya  wilayah Republik  Indonesia sangat beruntung masih mempertahankan pohon-pohon besar, dan pohon besar ini telah declare  menjadi pohon kota, daun, dahan serta rantingnya menyatu dengan pohon-pohon disamping dan bahkan dengan pohon diseberang jalan untuk memayungi pejalan kaki atau pengendera yang melewati jalan diponegoro. Berada disini seakan kita berada di dunia penuh perlindungan alam terhadap pengguna jalan.
Hampir setiap orang di Sabang mengidolakan jalan diponegoro yang merupakan salah satu jalan nasional dan dipenuhi kantor pemerintah di sisi timur, jalan ini penuh dengan pohon besar berumur ratusan tahun konon katanya di design dan ditanam pada masa pemerintahan Belanda saat menguasai Sabang.
Banyak pengunjung yang datang ke Sabang terkesima ketika melewati jalan diponegoro, hampir tidak ada jalan besar nasional di Indonesia yang masih ditutupi rindangnya daun pohon kecuali disini, rasa exited ini kadang sering mereka berkomentar “sudah berapa lama pohon besar ini berada di sini dan pohon-pohon ini membuat kota Sabang indah, teratur dan fresh,”

Pariwisata sabang yang mengidolakan underwater memang dapat dimaklumi karena memiliki daya pikat tersendiri bagi peselam, namun perlu disadari bahwa tidak semua pengunjung ke Sabang dapat berenang apalagi diving, jalan diponegoro dengan rimbunan pohon besar dapat dijadikan objek alternative wisata yang sangat fresh dan menyenangkan, namun pohon kota ini perlu perhatian yang lebih, apalagi sudah berumur ratusan tahun, jika pohon besar ini diibaratkan dengan manusia pada usia sekarang ini perlu perhatian asupan gizi yang sesuai, semisal untuk memperkuat tulang diperlukan susu, dan memperjelas penglihatan perlu operasi katarak serta chek kesehatan yang rutin, demikian pula hal nya dengan pohon-pohon besar ini, saatnya kita berfikir cerdas untuk memberikan hara yang cukup dalam usianya yang sudah renta bila kita masih membutuhkan perlindungan dan keindahan dari nya.
Andai saja dibawah pohon-pohon besar juga ditanami bunga-bunga yang beraneka warna berbaris-baris campuran antara bunga lokal dengan bunga luar negeri, pada saat bunga berkembang dipagi hari akan mengeluarkan wangi-wangian, dipastikan jalan diponegoro akan dipenuhi pengunjung setiap hari dan sangat wajar bila nanti kita akan melihat foto pre-wedding dengan background jalan diponegoro – Sabang ada dimana-mana.
Bila hal ini terwujud, sungguh Sabang tidak dapat menampung luapan pengunjung setiap hari, areal Camping sebagai alternative penginapan perlu segera disiapkan oleh pemerintah setempat.