Jumat, 10 Desember 2010

Saatnya Kembali Bersepeda

Pada saat rehab rekon sedang terjadi di Provinsi Aceh dan Banda Aceh sebagai pusat kegiatan rehap rekon, membuat kota provinsi ini berubah dari sepi menjadi ramai, jalan-jalan dalam Kota Banda Aceh penuh sesak, kenderaan baru bertambah secara signifikan, harga sewa rumah melambung, gaya hidup juga ikut berubah.

Fenomena ini juga masih berlangsung sampai sekarang, Banda Aceh di pagi, siang dan sore masih mengalami traffic jam seperti di persimpangan Jambo Tape, Simpang Lima, simpang Surabaya, atau seputar Taman Sari dan daerah-daerah lain seputar Banda Aceh. Ada beberapa factor penyebab masalah ini, misalnya pendatang yang mencari kerja berpusat di Banda Aceh, jalan yang tersedia masih sempit dan transportasi public yang tidak terjadwal, serta tingkat disiplin pengguna jalan rendah.
Selain penyebab diatas, ada satu penyebab utama dari semua ini adalah behavior of Acehnese yang lebih memilih “kemana-mana menggunakan bensin”, sebagai contoh, bila seorang pria ingin membeli rokok di simpang jalan berjarak sekitar 100 meter akan menggunakan kenderaan roda dua, dari pada berjalan kaki, padahal hanya 100 meter !.

Bila hal ini terus berlangsung seperti sekarang ini, dapat kita bayangkan bagaimana Banda Aceh lima atau sepuluh tahun mendatang, mungkin kota ini juga akan masuk category kota yang memproduksi polusi tinggi, crowded (akan seperti India) dan dipastikan kurang nyaman sebagai tempat hunianl generasi mendatang.

Maukah kita menghabiskan sebagian umur karena menunggu di lampu merah ? Apa yang harus dilakukan untuk menyelamat kita dari petaka traffic jam di Banda Aceh?, pertama dari sisi pemerintah, saatnya berfikir dan mendisign ulang ibukota propinsi Aceh, karena ketersediaan lahan yang semakin sempit, juga Banda Aceh telah survive dengan aktifitas perekonomiannya, ada baiknya ibu kota provinsi di geser ke Aceh Besar dengan memilih posisi strategis yang dapat menghubungkan Aceh Jaya, Aceh Tengah dan Pidie (program jangka panjang) tentu memerlukan biaya yang besar, hal ini dapat kita tiru kebijakan yang dilaksanakan Mahathir ketika memindahkan pusat pemerintahan ke Putrajaya.
Kewajiban pemerintah juga untuk menatakan kembali transportasi public dalam kota Banda Aceh dan Aceh Besar, sangat sulit mengontrol jadwal transportasi bila sector ini masih dikuasai oleh private sector. Ada baiknya private sector dilibatkan dalam menyediakan pelayanan transportasi public seperti trans-jogja (kerja sama pemerintah-swasta), karena ciri-ciri kota maju adalah kota yang dapat menyediakan transportasi public murah dan terjadwal.

Apa yang dapat kita lakukan?
Mungkin dapat kita contoh negera-negara eropa khususnya Belanda, jalan-jalan di Belanda tidak tergolong besar hampir mirip dengan di Banda Aceh, tapi di Belanda sebagian kecil yang menggunakan kenderaan roda empat sedangkan kenderaan roda dua sangat langka kita jumpai di jalan-jalan, masyarakat Belanda sebagian besar mempunyai sepeda, kemana-mana bersepeda, bila hendak berpergian jauh dapat menggunakan train dan untuk menuju ke train station juga menggunakan sepeda, sepeda selanjutkan dititipkan diparkiran dengan memasang kunci pengaman. Memang hampir tidak dapat dipercaya berdasarkan data statistic di Belanda, tingkat kriminalitas yang paling tinggi di Belanda adalah pencurian sepeda, tidak jarang di train station kita jumpai sepeda tanpa tempat duduk (sila = Bahasa Aceh) karena telah dicuri, sedangkan roda depan dan belakang masih terkunci dengan bagus.

Pernah suatu hari saya bersepeda menuju kampus cuaca sudah mulai dingin ketika sedang mengunci sepeda, saya melihat Bapak Rector orang sangat terhormat di universitas kami juga mengunci sepeda disamping sepeda saya. Aneh (menurut saya orang Aceh) seorang Rektor yang berpenghasilan lumayan masih menggunakan sepeda ke kampus, tidak kah dia merasa disepelekan oleh stafnya, saya temukan jawaban ketika berdiskusi dengan classmate orang eropa juga, disini (Belanda maksudnya) lebih melihat manfaat dari pada performance,( kebalikan dari kebiasaan kita di Aceh).

Terpikir, bila slogan “mari kembali bersepeda” kita galakkan di Banda Aceh, mungkin dapat dijadikan salah satu alternative mengatasi kemacetan yang sedang kita alami selama ini, masyarakat dapat berhemat dari manggunakan bensin dan yang lebih penting adalah kesehatan fisik lebih meninggkat.
Bila ada sensus di Aceh tentang pengeluaran tiap bulan per keluarga, saya berkeyakinan bahwa pengeluaran untuk pembelian bensin/transportasi setiap bulan adalah termasuk pengeluaran yang besar, padahal pengeluaran ini dapat ditekan dengan kembali bersepeda.

Program bersepeda ke kantor sangat mendukung dilaksanakan di Banda Aceh, karena jadwal masuk kantor pada pukul 08.00 pagi dan pulang pukul 17.00 wib, namun additional cost pasti akan bertambah setiap bulan karena penambahan pembelian parfum.



Den Haag, 25 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar